Hadist

. Metodologi Pemahaman Hadits
Kajian teks-teks keagamaan, dewasa ini sesungguhnya tidak bisa berdiri sendiri, melainkan perlu melibatkan disipilin ilmu lain, sebab problem sosial keagamaan semakin kompleks, sementara Islam yang bersumber dari ajaran al-Qur’an dan hadits harus juga berdialog dengan realitas dan perkembangan zaman. Oleh sebab itu, paradigma interkoneksi keilmuan menjadi sebuah keniscayaan sejarah, sehingga analisis dan kesimpulan yang diambil dari teks keagamaan bisa lebih dialektis dan komprehensif, serta akomodatif terhadap perkembangan masyarakat.
Kajian hadits memang menarik perhatian banyak peminat studi hadits, baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Bahkan hingga sekarang, kajian terhadap hadits baik yang berupa kritik terhadap otentisitasnya, maupun metode pemahamannya terus berkembang mulai dari yang tekstualis hingga kontekstualis, dari yang bersifat dogmatis hingga yang kritis, dari yang model literal hingga yang liberal. Apapun ragam dan model pendekatan dalam memahami hadits, hal itu merupakan apresiasi dan interaksi mereka dengan hadits sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.
Dalam mengambil hadits sebagai sumber hukum, tentunya tidak hanya melihat pada materi yang terkandung dari matan hadits, tetapi juga jauh dari itu harus juga diperhatikan konteks lahirnya hadits. Secara sistematis, hal ini lebih mudah dipahami dengan pendekatan kajian penelitian kritik hadits atau lebih sering dikenal dalam ulumul hadits dengan istilah takhrij hadits, dimana terdapat dua metode kritik hadits yang sudah kita pelajari dalam studi ilmu hadits, yaitu kritik dari sisi eksternal yaitu kritik sanad yang lebih mengarah pada uji kredibilitas dan kualitas (siqah) serta uji ketersambungan muttasil para rawi.
Bentuk kritkan kedua yaitu kritikan internal atau kritik matan yang merupakan suatu bentuk uji materi dari matan suatu hadits apakah mengandung cacat atau terdengar janggal. Dan dalam diskursus ilmu hadits, ada yang memiliki asbabul wurud khusus dan ada pula yang tidak. Hadits yang memiliki sebab lahirnya secara khusus dapat dipahami dengan menggunakan asbabul wurud, sedangkan hadits yang tidak memiliki sababul wurud secara khusus maka diperlukan pemahamannya melalui berbagai pendekatan interdisipliner, yaitu pendekatan sosiologi, antropologi dan bahkan pendekatan psikologi.
Pemahaman hadits selalu dihubungkan dengan sebab yang melatarbelakangi lahirnya hadits bersangkutan; ada yang harus diterapkan secara tekstual dan ada yang harus diterapkan secara kontekstual. Kandungan yang dikandungnyapun ada yang bersifat universal dan ada yang bersifat temporal dan lokal (kondisional). Bahkan pada hadits-hadits tertentu, pemahaman dengan memperhatikan konteksnya merupakan suatu keharusan, terutama pada hadits yang nampak bertentangan.
Untuk memahami hadits apalagi yang nampak secara tekstual bertentangan, maka yang harus dilakukan adalah :
a. Hadits tersebut harus ditinjau dari segi teks dan konteks seperti dengan melihat kapan, sebab dan siapa sasaran dari hadits tersebut.
b. Harus dikaji dalil-dalil lain naqli dan aqli yang berkaitan dengan hadits tersebut
c. diperlukan kegiatan ijtihad
Muhammad Al-Ghazali menggangap bahwa orang pertama yang melakukan pemilahan terhadap ucapan nabi adalah Imam Syihab ad-Din al-Qarafi dala kitab al-Furu’ dan al-Ihkam fi Tamyiz Fatawa min al-Ahkam. Beliau mengatakan bahwa dalam memahami ucapan nabi, harus bisa melihat peran nabi ketika ucapan lahir. Namun berbeda dengan Yusuf al-Qardhawi, yang berpendapat, bahwa ulama yang pertama sekali memberikan perhatian kepada pembahagian substansi sunnah adalah Imam Abu Muhammad Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta’wil mukhtalif al-Hadits. Dalam kitab tersebut, dia membagikan sunnah kepada tiga bentuk, yaitu :
a. Sunnah yang dibawa oleh Jibril dari Allah
b. Sunnah yang diperbolehkan Allah untuk disunnahkan
c. Sunnah yang berdimensi pengajaran saja.
Sementara Yusuf al-Qardawi dalam bukunya tersebut juga menjelaskan pendapat Syekh Ahmad al-Rahim yang mengutip sabda Nabi dibagi kepada sunnah yang disabdakan Nabi dalam kapasitasnya sebagai penyampai risalah dan sunnah yang disampaikan Nabi dalam kapasitasnya bukan sebagai penyampai risalah. Lebih lanjut ada lima Posisi yang diperankan oleh Rasulullah yang harus diperhatikan yaitu:
a. Posisi sebagai Rasul dimana semua ucapannya bersumber dari Wahyu dan sudah pasti benar
b. Posisi sebagai Mufti yang memberikan fatwa berdasarkan pemahaman dan wewenang yang diberikan oleh Allah SWT dan pasti kebenarannya serta berlaku umum bagi setiap muslim
c. Posisi sebagai hakim dalam memutuskan perkara, keputusan ini biasanya berlaku khusus bagi pihak yang bersengketa, putusan tersebut walaupun secara formal pasti benar, namun secara material adakalanya keliru karena disebabkan salah satu pihak yang bersengketa menutupi kebenaran, dalam hal ini hakim menghukum sesuai dengan aspek-aspek lahiriah
d. Posisi sebagai pemimpin masyarakat, dimana dalam hal ini beliau menyesuaikan sikap bimbingan dan petunjuk sesuai dengan kondisi dan budaya masyarakat yang ditemui
e. Posisi pribadi baik sebagai manusia biasa, maupun pribadi yang memiliki kekhususan dan hak-hak tertentu yang dianugerahkan oleh Allah, walaupun terjadi perbedaan dalam hal ini, namun tidak terelakkan untuk memilah pada ucapar rasul, karena hal ini yang dilakukan oleh para sahabat.
Pandangan ulama hadits terhadap Rasulullah sebagai tauladan dan mengarahkan perhatian mereka kepada segala apa saja yang berkaitan dengan pribadi Rasulullah baik yang berkaitan dengan hukum maupun tidak. Bahkan mengangap sesuatu yang disandarkan kepada beliau baik sebelum maupun sesudah beliau diangkat menjadi rasul adalah sunnah. Berbeda dengan ulama ushul, mereka hanya membatasi pada persoalan-persoalan yang dapat dijadikan kaidah hukum. Kemudian juga berbeda dengan ulama fiqh, mereka hanya membatasi kajian sunnah pada persoalan yang berhubungan dengan perincian hukum syari’at yaitu wajib, sunnah, haram, makruh atau mubah.
Pemahaman tersebut juga berbeda dalam memahami teks hadits. Ada yang memahaminya secara tekstual dan ada juga yang memahaminya secara kontekstual. Dua bentuk pemahaman ini sebenarnya sudah dikenal dan bahkan sudah dipraktekkan oleh para sahabat. Sebagai sebuah contoh yaitu ketika Rasulullah memerintakan beberapa sahabat untuk pergi ke perkampungan bani quraizah dan memerintakan mereka untuk melaksanakan shalat ashar di perkampungan bani Quraizah. Tenyata perjalanannya yang sangat jauh sehingga waktu ashar telah habis sebelum para sahabat sampai ke tujuan.
Dalam hal ini sebahagian sahabat dengan sebahagian yang lain berbeda dalam memahami ucapan nabi tersebut, sebahagian memahaminya sebagai bentuk perintah untuk bergegas dalam perjalanan agar bisa sampai ke tujuan lebih cepat. Sehingga sahabat ini melaksanakan sahabat ketika waktu ashar tiba waktu mereka masih dalam perjalanan. Sedangkan sebahagian sahabat lainnya yang memahami ucapan nabi secara teks baru melaksanakan shalat ashar ketika mereka baru sampai ketujuan walaupun sudah diluar waktu sholat ashar.
Dengan pendekatan historis, sosiokultur dan antropologi semacam itu, diharapkan akan mampu memberikan pemahaman yang relatif lebih tepat, apresiatif dan akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Sehingga dalam memahami sesuatu hadits kita tidak hanya terpaku pada dhahir tek hadits, tetapi harus memperhatikan konteks lahirnya hadits tersebut. Dengan demikian hadts-hadits Nabi SAW sebagai penjelas terhadap al-Qur`an secara teologis juga diharapkan dapat memberikan inspirasi untuk membantu penyelesaian problem-problem yang muncul dalam masyarakat kontemporer sekarang. Karena pembaharuan pemikiran islam yang saat ini dibutuhkan oleh umat islam di belahan dunia atau reaktualisasi ajaran islam harus mengacu kepada dalil-dalil yang menjadi landasan hukum islam itu sendiri yaitu al-Qur`an dan Hadits.
2. Diskursus di Barat
Ketika sarjana Barat memasuki domain penelitian tentang sumber dan asal usul Islam, mereka dihadapkan pada pertanyaan tentang apakah dan sejauhmana hadits hadits atau riwayat riwayat tentang nabi dan generasi Islam pertama dapat dipercaya secara hisroris. Pada fase awal kesarjanaan Barat, mereka menunjukkan kepercayaan yang tinggi terhadap literatur hadits dan riwayat riwayat tentang nabi dan generasi Islam awal. Tetapi sejak paroh kedua abad kesembilan belas, skeptisime tentang otentisitas sumber tersebut muncul. Bahkan sejak saat itu perdebatan tentang isu tersebut dalam kesarjanaan Barat didominasi oleh kelompok skeptis. Kontribusi sarjana seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Wansbrough, Patricia Crone, Michael Cook dan Norman Calder berpengaruh secara dramatis terhadap karya karya sarjana Barat.
Akan tetapi, Tidak semua sarjana Barat dapat digolongkan dalam aliran atau “mazhab“ skeptis. Sarjana seperti Joseph Van Ess, Harald Motzki, Miklos Muranyi, M.J. Kister, Fueck, Schoeler bereaksi keras terhadap sejumlah premis, kesimpulan dan methodologi para kelompok skeptis. Mereka dapat digolongkan sebagai kelompok non skeptis. Perdebatan antara kedua kelompok ini sangat tajam selama dua dekade terahir.
Singkatnya, diskursus hadits di Barat selalu merujuk kepada nama Ignaz Goldziher (Honggaria) dan Joseph Schacht (Austria), dan untuk yang masih hidup G.H.A. Juynboll (Belanda), Harald Motzki (Jerman) dan beberapa nama yang lain. Dimata Orientalis kedua nama yang pertama dianggap seperti Ibn al-Salah (pendekar ulum al-hadith Muslim) atau Ibn Hajar dalam dunia Islam. Sedangkan G. H. A. Juynboll dan Harald Motzki, dianggap (kurang lebih) seperti Muhammad Shakir, al-Albani dan al-Saqqaf atau al-Gumari dalam dunia Islam.
Kedua nama pertama (Goldziher dan Schacht) telah wafat, tapi meninggalkan pengaruh global dan menciptakan madhhab skeptis di Barat. Dimasa Goldziher (Mohammedanische Studien,1890) dan Schacht (The Origins 1950), mayoritas sarjana Barat untuk tidak mengatakan semua, skeptis terhadap literatur Islam, termasuk hadits . Diskursus masa awal Islampun (abad pertama kedua) dianggap tidak tersentuh karena minusnya sumber yang tersedia untuk itu. Secara umum, madhab skeptis berpendapat bahwa pengetahuan dan informasi tentang masa awal Islam (abad pertama kedua hijriah) hanyalah perpsepsi komunitas Muslim abad ketiga. Literatur yang ada tidak lebih dari sekedar refleksi peta konflik yang tidak dapat memantulkan realitas seperti digambarkan oleh sumber itu sendiri.
Beberapa dekade terahir mazhab skeptis yang telah mapan di Barat tidak lagi satunya-satunya trend yang mendominasi diskursus studi Islam di Barat. Mazhab non-skeptis yang dikomandani oleh sejumlah Orientalis sekaliber Motzki, Fuec, Scheoler, Schoeler dll, turut meramaikan diskursus masa awal Islam. Lewat metodologi yang mereka kembangkan, mereka melakukan rekonstruksi sejarah untuk melihat sejauh mana literatur abad ketiga dapat memberikan informasi akurat tentang abad pertama kedua hijriah.
Sarjana Muslim Fuat Sezgin, sarjana berkebangsaan Turki yang menulis karya masterpiece Geschichte des arabishen Schrifftums, dan Muhammad Azmi telah terlibat dalam diskursus hadits di barat, namun radiasi pengaruhnya terasa sangat marginal di Barat.. Dalam studi yang cukup serius, Sezgin dan Azmi berkesimpulan bahwa proses transmisi hadits nabi secara tertulis dimulai sejak masa sahabat sampai pada masa pengumpulan hadits pada pertengahan abad ketiga hijriah. Dengan kata lain, literatur hadits yang diwarisi dari pertengahan abad ketiga adalah hasil dari periwayatan tertulis dari masa sahabat, sehingga kwalitas historisitasnya terjamin tanpa keraguan. Kesimpulan Sezgin dan Azmi dikukung oleh Nabi Abbott. Kelemahan ketiga sarjana ini menurut pengkritiknya adalah mereka menggunakan sumber atau literatur pada abad ketiga untuk merekonstruksi peristiwa abad pertama. Dan metode yang digunakan adalah metode penyandaran atau isnad. Oleh para Orientalis, argumen-argumen yang diajukannya dianggap circular.
Terlepas dari kesimpulan sarjana Barat terhadap kualitas hadits yang sering kurang simpatik dimata orang Islam, mempelajari metodologi mereka sangatlah fruitfull dari perspektif akademis. Karena ia tidak hanya mengapresiasi literatur Islam tapi juga menunjukkan kelemahannya yang dapat membuka mata kita. Sejauh pengamatan penulis, metodologi ini kurang diakses, untuk tidak mengatakan, sama sekali belum disentuh oleh para penstudi hadits di tanah air. Dunia Islampun gagal mengikuti perkembangan metodologi ini.
Sarjana Islam mungkin trauma oleh ide-ide Goldziher dan Joseph Schacht, sehingga mereka apriori terhadap metodologi yang dikembangkan di Barat. Padahal, diskursus hadits di Barat berkembang sangat dinamis. Premis dan kesimpulan Goldziher dan Schacht dan para pendukungnya yang secara umum menafikan historisitas penyandaran hadits kepada nabi dan Sahabat telah mengalami revisi signifikan. Di samping itu, metode untuk menentukan kualitas sebuah hadits pun berkembang dinamis.
Penulis tidak mengunggulkan metode Barat (method of dating a particular hadith) atas metode kritik hadits (takhrij al-hadith) atau sebaliknya. Kedua metode tersebut memiliki kelebihan masing masing yang perlu disinergikan untuk mencapai kesimpulan tentang historisitas penyandaran hadits kepada nabi, sahabat atau Tabiin. Oleh karena itu, penulis dengan penuh rendah hati ingin menyarankan kepada Institusi perguan tinggi yang menjadikan hadits sebagai salah satu substansi kajiannya, terutama program pasca sarjana, agar membuka diri demi pengembangan mutu akademis kedepan. Bagaimanapun juga, metode kritik hadits baik yang dikembangkan di dunia Islam maupun di Barat adalah hasil dari sebuah kerja intelektual yang serius. Membiarkannya berlalu tak terakses didunia Islam adalah sebuah kelalaian akademis yang sangat disayangkan.
3. Problematika Ulumul hadits
Metode yang digunakan oleh para sarjana Muslim klasik untuk menyandarkan sebuah hadits kepada nabi tidak mendapat tantangan signifikan dari sarjana Muslim moderen. Memang terdapat sejumlah sarjana moderen yang mencoba menunjukkan resistensinya terhadap ulumul hadith, tetapi mereka gagal mendapatkan simpati mayoritas sarjana Muslim.
Informasi tentang nabi yang terekam dalam buku-buku hadits laksana pecahan-pecahan kaca yang harus direkonstruksi supaya dapat memantulkan berita-berita akurat tentang nabi. Meskipun hadits -hadits tersebut telah diseleksi oleh para kolektornya (misalnya al-Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ibn Majah, Abu Daud, Nasai dll). Namun, kenyataan bahwa para kolektor ini hidup pada abad ke tiga hijriah (dua ratus tahun lebih setelah nabi wafat), pertanyaan epistimologis muncul: sejauh mana tingkat akurasi metodologi para kolektor ini dalam menyeleksi hadits -hadits nya? Apakah metodologi mereka sama dengan metodologi yang populer kita kenal dengan ulum al-hadits ?
Al-Bukhari yang dikenal sebagai the man of hadits , misalnya, tidak pernah menjelaskan metodologinya secara detail. Ulum al-hadits yang menurut mayoritas sarjana Islam sangat akurat menyimpan sejumlah pertanyaan-pertanyaan epistimilogis yang tidak terjawab secara empiris. Ulum al-hadits diterima dan dianggap sesuatu yang taken for granted. Kecendrungan sebagian diantara kita adalah menolak atau menerima sebuah hadits tanpa meneliti historisitasnya. Apabila sebuah hadits disebutkan dalam Sahih al-Bukahi atau Muslim, apalagi kalau keduanya menyebutkannya, lebih-lebih lagi kalau disebutkan dalam kutub al-sitta, al-tis’a, maka tidak diragukan lagi hadits tersebut menurut mayoritas sarjana Islam, sahih, sehingga analisis historis terhadapnya tak lagi penting.
Benarkah sikap seperti itu? Terdapatnya sebuah hadits dalam sejumlah kitab-kitab hadits bukanlah jaminan akan historisitasnya, karena boleh jadi hadits tersebut diriwayatkan secara massive pada generasi tertentu (paroh kedua abad kedua dan seterusnya sampai ke masa mukharrij), tapi pada generasi sebelumnya (paroh pertama abad kedua dan sebelumnya sampai masa nabi) diriwayatkan secara ahad (single strand). Singkatnya, semua hadits yang terekam dalam kitab hadits harus tunduk pada kritik sejarah.
Ada gap yang cukup menganga antara teori dan fakta, antara teori ulumul hadits dengan keadaan objektif literatur hadits . Kalau teori ulumul hadits di aplikasikan secara ketat, bisa jadi kualitas literatur hadits menurun secara sangat signifikan. Contoh sederhana, teori ulumul hadits mengajarkan kepada kita bahwa riwayat seorang mudallis tidak bisa dijadikan hujja apabila ia tidak berterus terang atau ia tidak menyatakan secara tegas sumber informantnya, misalnya dengan mengatakan ’an atau sejenisnya, kecuali kalau riwayat tersebut dikuatkan oleh riwayat perawi lain yang thiqa. Mari kita menguji teori ini secara praktis dalam literatur hadits dengan mengambil contoh kasus Abu Zubayr. Abu Zubayr, seorang Tabiin yang di klaim oleh mayoritas kritikus hadits sebagai mudallis.
Dengan berpedoman pada teori tersebut di atas maka semua hadits yang diriwayatkannya secara tidak langsung (misalnya dengan menggunakan kata-kata ’an dan sejenisnya) tidak bisa dijadikan hujja (dalil yang kuat), kecuali kalau ada hadits lain yang menguatkannya. Dalam kitab-kitab hadits , kutub al-sitta, misalnya, ditemukan ratusan hadits yang diriwatkan oleh Abu Zubayr, dimana dia tidak menjelaskan cara penerimaannya apakah lansung dari informannya atau tidak. Dalam kutub al-sitta, Abu al-Zubayr meriwayatkan 360 hadits dari Sahabat Jabir b. Abdullah saja, belum termasuk hadits yang diriwayatkan Abu al-Zubayr dari Sahabat lain.
Jumlah tersebut akan bertambah lagi apabila diteliti riwayat Abu al-Zubayr dalam kitab kitab hadits yang lain. Dari 360 hadits tersebut, Muslim merekam 194, Abu Dawud 83, Tirmizi 52, Nasai 141 dan Ibn Maja 78 hadits . Sebenarnya, jalur Abu Zubayr – Jabir dalam kutub al-sitta sebanyak 548, tapi beberapa diantaranya hadits hadits yang berulang. Dari 194 hadits riwayat Abu al-Zubayr yang terdapat dalam Sahih Muslim, 125 diantaranya Abu Zubayr menggunakan kata-kata ‘an dan sejenisnya, hanya 69 hadits dimana ia menggunakan kata kata haddathana dan sejenisnya. Menurut teori ulumul hadits , riwayat seperti ini tidak bisa di jadikan hujja. Kalau demikian halnya maka menurut ulumul hadits, kita harus menolak ratusan hadits yang terdapat dalam kitab hadits termasuk dalam sahih Buhari dan Muslim.
Kasus yang sama juga terjadi pada perawi Hasan al-Basri. Oleh mayoritas kritikus hadits , Hasan al-Basri dianggap sebagai mudallis. Meskipun ada juga yang memujinya sebagai faqih dan murua, tapi ia tetap diklaim telah melakukan tadlis. Terlepas dari apa yang disampaikan oleh para kritikus hadits tentang tokoh ini, kemunculannya sebagai perawi hadits yang begitu sering dalam kitab hadits menjadikannya sebagai tokoh yang terlalu penting untuk diabaikan. Dalam kutub al-sitta saja Hasan al-Basri meriwayatkan tidak kurang dari 281 hadits . 43 hadits diantaranya terdapat dalam Sahih Bukari dan Muslim (the most highly appreciated hadith collections). 31 hadits terdapat dalam Sahih al-Bukhari dan 12 terdapat dalam Sahih Muslim.
Dari 31 hadits yang terdapat dalam Sahih al-Bukhari, hanya delapan kali Hasan al-Basari mengatakan haddathana dan sejenisnya, yang oleh para kritikus hadits dianggap mendengarnya secara langsung dari informantnya. Dalam 17 hadits , Hasan al-Basri ber ’an’ana, yang oleh para kritikus hadits dianggap tidak menerimanya secara langsung. Selebihnya, hadits Hasan al-Basri dalam Sahih al-Bukhari adalah mursal. Dalam Sahih Muslim hanya dua kali Hasan al-Basri mengatakan haddathana dari 12 hadits yang diriwayatkannya. Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari data data ini? Dengan menerapkan teori ulumul hadits pada kasus Hasan al-Basri, maka 17 hadits dalam al-Bukhari dan delapan hadits dalam Sahih Muslim harus ditolak, atau paling tidak kehujjahannya harus di ”gantung” sampai ada hadits lain yang thiqa yang dapat menguatkannya.
Ulumul hadits juga mengajarkan bahwa dalam transmisi (periwayatan) hadits seorang perawi harus thiqa (reliable). Cara menentukan kethiqahan perawi adalah dengan merujuk kepada buku-buku biografi perawi dan dengan membandingkan riwayatnya dengan riwayat yang lain. Pertanyaannya, sejauhmana keakuratan penilaian penulis buku biografi terhadap seorang perawi, sementara masa hidup mereka sangat berjauhan? Penulusuran terhadap buku biografi mengindikasikan bahwa penilain tersebut sering kurang akurat, sehingga penentuan kualitas perawi yang hanya didasarkan atas buku biografi terkadang kurang meyakinkan. Namun demikian, buku biografi bukan tidak penting untuk dikonsultasi. Penelitian empirispun membuktikan bahwa informasi yang ada dalam buku biografi perawi sangat berharga, meskipun tetap harus didekati secara kritis.
Selanjutnya, metode membandingkan riwayat menurut versi ulumul hadits tidak selamanya diterapkan oleh para kolektor hadits . Hal ini diketahui apabila riwayat para perawi dibandingkan dengan riwayat lain. Kenyataan ini menunjukkan betapa pentingnya mencari metodologi alternatif disamping ulumul hadits dalam menentukan kualitas hadits , karena hemat penulis menyandarkan hadits kepada nabi yang sesungguhnya tidak pernah diucapkan olehnya sama dosanya dengan mendustakan hadits nabi. Sehinga penelitian terhadap historisitas dan otentisitasnya harus selalu dilakukan. Sekali lagi, untuk tujuan tersebut maka pengembangan metodologi menjadi tuntutan yang sangat mendesak.
4. Isnad Cum Matan Analysis
Benarkah ribuan hadits yang disandarkan kepada Abu Hurayra, Aisya, Abd Allah b. Umar, Anas b. Malik, Abdullah b. Abbas, Jabir b. Abdullah dan sahabat yang lain diriwayatkan oleh para Sahabat tersebut atau hanya disandarkan kepada mereka oleh generasi belakangan yang sesungguhnya hadits itu tidak ada kaitannya dengan Sahabat tersebut. Pertanyaan yang sangat menantang ini diajukan oleh sejumlah sarjana Barat, dimana sarjana Islam seakan alergi menjawabnya, dan pertanyaan ini tidak pernah kita temukan dalam ulumul hadits . Pertanyaan ini perlu dijawab, karena sangat mungkin Sahabat yang dikutip memang tidak bertanggung jawab terhadap hadits yang disandarkan kepadanya. Untuk menjawab pertanyaan ini pendekatan isnad cum matn analysis menemukan urgensinya.
Diantara karakteristik pendekatan isnad cum matn analysis adalah kualitas seorang perawi tidak hanya didasarkan pada komentar ulama tentang perawi tersebut. Komentar ulama tentangnya menjadi sekunder. Kualitas perawi primarily ditentukan terutama oleh matn atau teks dari perawi tersebut. Kalau kita meneliti sebuah hadits , maka yang pertama kita lakukan adalah. Mencari hadits tersebut keseluruh kitab hadits yang ada. Bukan hanya dalam Sahih Buhari atau Muslim saja, tapi disamping kutub al-sitta (canonical collections), juga Muwatta Malik, Musnad al.Tayalisi, Musnad Ibn Rahawayh, Musannaf Abd Razzaq, Sunan al-Darimi, Ibn al-Jad dan lain lain (pre-canonical collections), al-Bayhaqi, Ibn Hibban, al-Tabarani, Ibn Khuzayma dan lain lain (post canonical collections), bahkan kalau perlu dalam kitab hadits koleksi Shiah, misalnya Musnad al-Allama al-mujlisi, al-Shamiyyin dll.
Apakah hadits yang kita cari itu terdapat dalam buku tersebut. Setelah terkumpul semua data yang dibutuhkan, kemudian dibuat diagram untuk melihat siapa perawi yang menerima hadits dari mana. Dengan demikian akan kelihatan siapa yang menjadi madar atau common link dari setiap generasi. Siapa yang menjadi sumber hadits tersebut dari generasi kegenerasi. Diagram isnad yang dibuat harus diuji kebenarannya melalui analisis matn. Karena klaim perawi telah menerima dari informan yang ia sebutkan boleh jadi hanya pengakuan belaka. Dalam hal ini membandingkan matn antara para perawi segenarasi dan seperguruan menjadi mutlak.
Apakah hadits tersebut hanya beredar pada abad kedua ketiga atau sudah beredar pada abad pertama hanya dengan cara ini kita dapat mengetahui apakah hadits tersebut berasal dari nabi, Sahabat, Tabiin atau setelahnya. Disamping itu, independensi dan interdependensi setiap riwayat harus kita buktikan, juga dengan menguji matannya. Benarkah si A menerima hadits dari B seperti yang ia klaim, benarkah B menerima hadits dari C seperti yang ia kutip, Benarkah C menerima dari D seperti yang ia katakan, dstnya. Analisa sanad dan matn menjadi sangat menentukan. Bagaimana proses metode isnad cum matn analysis ini bekerja, tentu halaman ini sangat terbatas untuk mengurainya secara detail.
Kondisi kesarjanaan di abad 21 dewasa ini, dimana para sarjana pendahulu kita telah mewariskan karya-karya masterpiece yang sangat berharga, telah mengedit karya-karya masa lalu, memunkinkan kita untuk merekonstruksi sejarah nabi, sahabat, tabiin dan generasi setelahnya, mengetahui sumber berita yang sesungguhnya. Kondisi kita dewasa ini jauh lebih bagus daripada kondisi al-Bukhari yang harus mencari dan mengumpulkan kepingan kepingan informasi tentang nabi dari suatu tempat ketempat yang lain. Al-Bukhari telah meninggalkan mutiara koleksi informasi tentang nabi. Sejumlah sarjana sebelum dan setelah al-Bukhari telah melakukan hal yang sama. Sarjana abad ini dapat membandingkan riwayat al-Bukhari dengan riwayat lain untuk melihat tingkat akurasi setiap periwayatan.
Dengan memiliki sumber berita yang tersedia, kondisi manusia diabad 21 secara fisik lebih bagus daripada kondisi abad ke dua dan ketiga hijriah. Bahkan, dengan segala kerendahan hati dan tanpa ada maksud membuat sensasi dapat dikatakan bahwa dengan menggunakan metodologi isnad cum matn analysis, sarjana abad ini lebih otoritatif untuk menentukan kualitas hadits daripada al-Bukhari dan para mukharrij lainnya. Sebagai contoh, ketika al-Bukhari menemukan sebuah hadits dari empat sumber mislanya, katakanlah dari Abu Nuaym, Adam, Ibrahim b. Musa dan Maslama. Keempat orang ini menerima dari orang yang berbeda-beda sampai kepada nabi. Pada masa al-Bukhari, sejumlah buku hadits belum ada seperti sekarang ini, sehingga al-Bukhari menerima hadits tersebut hanya dari empat orang diatas.
Pada saat ini, kitab-kitab hadits yang tersedia memungkinkan kita untuk menemukan jalur lain selain dari keempat sumber al-Bukhari. Kitapun dapat membandingkan anatara riwayat al-Bukhari dengan riwayat dari jalur yang lain untuk melihat tingkat akurasi setiap riwayat. Dengan perbandingan ini, kita dapat melihat tingkat kedabitan setiap perawi dari generasi kegenerasi. Bahkan dalam kasus tertentu perawi al-Bukhari bisa berbeda dengan perawi lain yang dikuatkan oleh riwayat yang lain, sehingga riwayat dari al-Bukhari yang tanpa pendukung dapat dianggap lebih lemah dengan riwayat lain yang didukung oleh riwayat yang lain.
Sekali lagi dengan isnad cum matn analysis, kita mengetahui dengan jelas siapa di antara perawi yang telah melenceng, menanmbah dan mengurangi setiap periwayatan yang asli. Dengan demikian kitapun dapat melihat tingkat keadabitan perawi dari teksnya. Secara teoritis, metode isnad cum matn analysis bukan sesuatu yang baru, tapi secara praktis, metode ini nyaris tidak diterapkan dalam kajian hadits . Hal ini terefleksi dari literatur hadits kita. Inilah yang saya maksudkan dengan adanya gap antara teori dan praktek.
C. Kesimpulan
Dalam sejarah umat Islam, reliabilitas ulumul hadits tidak pernah mendapat tantangan berarti dari sarjana Islam. Ada beberapa sarjana yang meragukan reliabilitasnya, tapi tidak mendapat simpati berarti dari umat Islam. Tulisan inipun tidak bermaksud menggugat ulumul hadits secara umum, tapi ada beberapa element substantif dalam ulumul hadits yang harus dipikirkan kembali. Meskipun dalam kritik hadits terdapat perbedaan-perbedaan pendapat, Secara umum tidak terdapat perbedaan perbedaan substantif; Kualitas hadits ditentukan terutama berdasarkan kualitas sanad, meskipun tidak mengabaikan pertimbangan matnnya.
Metode isnad cum matn analysis menaksir kualitas hadits berdasarkan matnnya, bahkan kwalitas sanadpun dapat ditaksir melalui matnnya. Analysa matn yang dimaksud bukan apakah matn itu bertentangan dengan al-Quran atau riwayat yang dianggap lebih kuat, melainkan sejauh mana riwayat teks seorang perawi melenceng, berbeda secara tekstual dengan riwayat yang lain. Namun sebelum analisa tekstual dilakukan terlebih dahulu dilakukan pemetaan siapa yang menerima riwayat darimana, mulai dari mukharrij sampai ke perawi terahir (sahabat) atau pemilik berita (nabi).
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ibnu Hamzah al-Husaini ad-Dimasyqi, al-Bayan wa at-Ta’rif fi Asbabi Wurudi al-Hadits asy-Syafi, Jilid I (Beirut; Dar ast-Tsaqafah al-Islamiyah, t.t hlm.
M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits, Ijtihad Al-Hakim dalam Menentukan Status Hadits, Paramadina, Jakarta: 2000.
Mahmud Syaltun, al-Islam Aqidah wa Syari’ah, Kairo: Dar al-Qalam, 1966, hlm. 510.
Muhammad Syuhudi, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Tela’ah Ma’ani ah-Hadits Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, Bulan Bintang, Jakarta: 1994.
Said Aqil Husen Munawar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud (Studi Kritis Hadits Nabi Pendekatan Sosio–Historis, Kontekstual), Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2001.
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadits, Pustaka Firdaus, Jakarta: 2002
Syekh Muhammad Al-Ghazali, Assunnah Nabawiyah baina Ahl Fiqh wa Ahl Hadits, Tejemahan: Muhammad Al-Baqi, Mizan, Bandung: 1998.
Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Gema Insani Press, Jakarta: 1995.
Yusuf Qardawi, Studi Kritis As-Sunnah, Alih Bahasa: Bahrun Abubakar, Trigenda Karya, Bandung: 1995.
Yusuf al-Qardhawi, al-Sunnah Masdharan li al-Ma’rifah wa al-Hadharah, Terj. Abdul Hayyen al-Qattani dan Abdul Zulfidar, Kairo; Dar al-Syuru’, 1997
Wahyuni Syifatur Rahman dalam Mustawa (Jurnal Studi Gender dan Islam), Mengkritisi Hadits tentang Usia Pernikahan Aisyah, Vol. 8, No. 2, PSW Yogyakarta, 2009.
Mahyuddin Abu Zakaria bin Syaraf an-Nawawy, Shahihul Muslim Syarah an-Nawawi, Jilid V Darul Qutub, Beirut: t.t. hlm. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar